Tantangan Kebijakan Fiskal Kini
Haryo Kuncoro
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Menteri Keuangan menunjuk Febrio Nathan Kacaribu sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) melalui mekanisme seleksi terbuka. Penunjukan ini terjadi di tengah pandemi Covid-19, yang berdampak pada perekonomian nasional dan keuangan negara. Maka, tugas pertama Febrio adalah menjaga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetap berfungsi sebagai katalis bagi kebijakan strategis dalam upaya stabilisasi ekonomi dan bertahan di tengah kondisi seperti saat ini.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Kebijakan status darurat kesehatan, yang diikuti pembatasan sosial berskala besar ini, menuntut penyesuaian belanja negara.
Tambahan anggaran dan realokasi APBN 2020 difokuskan pada mitigasi dampak ekonomi wabah Covid-19. Kenaikan drastis belanja hingga mencapai Rp 405,1 triliun mendorong pelebaran defisit ke level 5,07 persen, melebihi ambang batas normal 3 persen dari produk domestik bruto.
Berangkat dari kebijakan pemerintah itu, Kepala BKF harus mampu mempercepat pencairan berbagai jenis belanja yang berkaitan langsung dengan penanganan dampak wabah. Pos belanja yang paling mendesak adalah Rp 75 triliun untuk bidang kesehatan dan Rp 110 triliun untuk perlindungan sosial.
Dampak wabah Covid-19 ini sangat fundamental, belum terjadi sebelumnya, dan luar biasa memukul aktivitas ekonomi sektor swasta. Konsekuensinya, belanja program pemulihan ekonomi sebesar Rp 140 triliun serta insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat sebesar Rp 70,1 triliun pun perlu segera dieksekusi. Meski dalam kondisi darurat, berbagai jenis belanja tersebut tetap harus bisa dipertanggungjawabkan.
Lihat: Dampak Deflasi Terhadap Perekonomian
Pada saat yang sama, BKF dihadapkan pada pembiayaan defisit. Opsi pertama, pemerintah menggunakan saldo anggaran lebih (SAL) yang merupakan akumulasi sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) dan sisa kurang penggunaan anggaran (Sikpa) tahun anggaran yang lalu. Opsi ini aman meski tidak bisa menutup defisit.
Opsi kedua adalah pemanfaatan dana abadi dan akumulasi dana pendidikan yang dikelola badan layanan umum, serta dana yang berasal dari pengurangan penyertaan modal pada badan usaha milik negara (BUMN). Dana tersebut dapat dipakai karena bisa dianggap tidak lagi punya prioritas tinggi.
Anggaran yang tidak prioritas dialihkan untuk restrukturisasi ekonomi secara menyeluruh. Dengan demikian, opsi kedua ini memberikan banyak lapis alternatif, termasuk penyesuaian alokasi, pemotongan, atau penundaan penyaluran anggaran transfer ke daerah dan dana desa untuk kriteria tertentu.
Opsi ketiga adalah penerbitan surat utang negara pandemic bonds atau recovery bonds yang dapat dibeli oleh investor korporasi maupun retail, BUMN, dan khususnya Bank Indonesia. Opsi ketiga ini memerlukan pertimbangan yang sangat matang atas dasar manfaat, ongkos, dan risikonya.
Pilihan mana pun sangat dilematis. Persoalan mendasarnya adalah belum jelas sampai kapan wabah ini akan berlangsung dan seberapa dalam dampaknya. Kepala BKF harus mampu mengidentifikasi semua alternatif pembiayaan defisit dan terbuka terhadap kemungkinan pinjaman dari lembaga internasional. Tantangan ini niscaya tertangani, melihat kompetensi, kapasitas teknis, dan kepemimpinan Febrio. Namun, lagi-lagi, di tengah situasi luar biasa ini, dia dituntut responsif dan antisipatif dalam meracik berbagai bauran kebijakan hingga beberapa tahun ke depan.
Dalam cakupan yang lebih luas, Kepala BKF juga dihadapkan pada beberapa persoalan mendasar. Di tengah masifnya persoalan kesehatan, pemerintah harus tetap memperhatikan pembangunan sumber daya manusia, penyederhanaan birokrasi, penyederhanaan regulasi, dan transformasi ekonomi.
Untuk itu, Kepala BKF harus menjalin komunikasi dan koordinasi dengan semua eselon I, baik staf khusus maupun staf ahli, serta jajaran di dalam BKF sendiri. Walhasil, asesmen atas dampak Covid-19 terhadap fondasi perekonomian maupun fondasi fiskal negara pada tahun ini dan tahun-tahun mendatang menjadi target terdekatnya.
Target terdekat berikutnya, BKF mesti menyusun Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal untuk proses pembentukan APBN 2021. Draf ini harus selesai pada pertengahan tahun untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat guna menentukan kerangka umum dan asumsi dasarnya.
Dari sekian banyak tugas yang menghadang, barangkali tantangan yang paling berat adalah optimalisasi rasio pajak. Di tengah kebijakan fiskal yang akomodatif bagi dunia usaha serta kondisi perekonomian nasional dan global yang cenderung menuju resesi, sulit bagi BKF untuk menggenjot rasio pajak.
Harapan untuk menaikkan rasio pajak sangat boleh jadi akan diarahkan pada sisi administrasi perpajakan, alih-alih intensifikasi atau ekstensifikasi pajak yang distorsif bagi perekonomian. Inovasi dan kreasi Kepala BKF dituntut untuk mampu mengeksplorasi efek penerimaan negara dari digitalisasi dan terkoneksinya perekonomian dunia.
Dengan tantangan dan peluang yang ada, semua tugas Kepala BKF akan terlaksana jika ada sinergi antar-pemangku kepentingan. Sinergi ini menjadi modal untuk mewujudkan BKF menjadi unit tepercaya dalam perumusan kebijakan fiskal serta sektor keuangan yang antisipatif dan responsif dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
(Kolom Tempo)
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Menteri Keuangan menunjuk Febrio Nathan Kacaribu sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) melalui mekanisme seleksi terbuka. Penunjukan ini terjadi di tengah pandemi Covid-19, yang berdampak pada perekonomian nasional dan keuangan negara. Maka, tugas pertama Febrio adalah menjaga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetap berfungsi sebagai katalis bagi kebijakan strategis dalam upaya stabilisasi ekonomi dan bertahan di tengah kondisi seperti saat ini.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Kebijakan status darurat kesehatan, yang diikuti pembatasan sosial berskala besar ini, menuntut penyesuaian belanja negara.
Tambahan anggaran dan realokasi APBN 2020 difokuskan pada mitigasi dampak ekonomi wabah Covid-19. Kenaikan drastis belanja hingga mencapai Rp 405,1 triliun mendorong pelebaran defisit ke level 5,07 persen, melebihi ambang batas normal 3 persen dari produk domestik bruto.
Berangkat dari kebijakan pemerintah itu, Kepala BKF harus mampu mempercepat pencairan berbagai jenis belanja yang berkaitan langsung dengan penanganan dampak wabah. Pos belanja yang paling mendesak adalah Rp 75 triliun untuk bidang kesehatan dan Rp 110 triliun untuk perlindungan sosial.
Dampak wabah Covid-19 ini sangat fundamental, belum terjadi sebelumnya, dan luar biasa memukul aktivitas ekonomi sektor swasta. Konsekuensinya, belanja program pemulihan ekonomi sebesar Rp 140 triliun serta insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat sebesar Rp 70,1 triliun pun perlu segera dieksekusi. Meski dalam kondisi darurat, berbagai jenis belanja tersebut tetap harus bisa dipertanggungjawabkan.
Lihat: Dampak Deflasi Terhadap Perekonomian
Pada saat yang sama, BKF dihadapkan pada pembiayaan defisit. Opsi pertama, pemerintah menggunakan saldo anggaran lebih (SAL) yang merupakan akumulasi sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) dan sisa kurang penggunaan anggaran (Sikpa) tahun anggaran yang lalu. Opsi ini aman meski tidak bisa menutup defisit.
Opsi kedua adalah pemanfaatan dana abadi dan akumulasi dana pendidikan yang dikelola badan layanan umum, serta dana yang berasal dari pengurangan penyertaan modal pada badan usaha milik negara (BUMN). Dana tersebut dapat dipakai karena bisa dianggap tidak lagi punya prioritas tinggi.
Anggaran yang tidak prioritas dialihkan untuk restrukturisasi ekonomi secara menyeluruh. Dengan demikian, opsi kedua ini memberikan banyak lapis alternatif, termasuk penyesuaian alokasi, pemotongan, atau penundaan penyaluran anggaran transfer ke daerah dan dana desa untuk kriteria tertentu.
Opsi ketiga adalah penerbitan surat utang negara pandemic bonds atau recovery bonds yang dapat dibeli oleh investor korporasi maupun retail, BUMN, dan khususnya Bank Indonesia. Opsi ketiga ini memerlukan pertimbangan yang sangat matang atas dasar manfaat, ongkos, dan risikonya.
Pilihan mana pun sangat dilematis. Persoalan mendasarnya adalah belum jelas sampai kapan wabah ini akan berlangsung dan seberapa dalam dampaknya. Kepala BKF harus mampu mengidentifikasi semua alternatif pembiayaan defisit dan terbuka terhadap kemungkinan pinjaman dari lembaga internasional. Tantangan ini niscaya tertangani, melihat kompetensi, kapasitas teknis, dan kepemimpinan Febrio. Namun, lagi-lagi, di tengah situasi luar biasa ini, dia dituntut responsif dan antisipatif dalam meracik berbagai bauran kebijakan hingga beberapa tahun ke depan.
Dalam cakupan yang lebih luas, Kepala BKF juga dihadapkan pada beberapa persoalan mendasar. Di tengah masifnya persoalan kesehatan, pemerintah harus tetap memperhatikan pembangunan sumber daya manusia, penyederhanaan birokrasi, penyederhanaan regulasi, dan transformasi ekonomi.
Untuk itu, Kepala BKF harus menjalin komunikasi dan koordinasi dengan semua eselon I, baik staf khusus maupun staf ahli, serta jajaran di dalam BKF sendiri. Walhasil, asesmen atas dampak Covid-19 terhadap fondasi perekonomian maupun fondasi fiskal negara pada tahun ini dan tahun-tahun mendatang menjadi target terdekatnya.
Target terdekat berikutnya, BKF mesti menyusun Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal untuk proses pembentukan APBN 2021. Draf ini harus selesai pada pertengahan tahun untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat guna menentukan kerangka umum dan asumsi dasarnya.
Dari sekian banyak tugas yang menghadang, barangkali tantangan yang paling berat adalah optimalisasi rasio pajak. Di tengah kebijakan fiskal yang akomodatif bagi dunia usaha serta kondisi perekonomian nasional dan global yang cenderung menuju resesi, sulit bagi BKF untuk menggenjot rasio pajak.
Harapan untuk menaikkan rasio pajak sangat boleh jadi akan diarahkan pada sisi administrasi perpajakan, alih-alih intensifikasi atau ekstensifikasi pajak yang distorsif bagi perekonomian. Inovasi dan kreasi Kepala BKF dituntut untuk mampu mengeksplorasi efek penerimaan negara dari digitalisasi dan terkoneksinya perekonomian dunia.
Dengan tantangan dan peluang yang ada, semua tugas Kepala BKF akan terlaksana jika ada sinergi antar-pemangku kepentingan. Sinergi ini menjadi modal untuk mewujudkan BKF menjadi unit tepercaya dalam perumusan kebijakan fiskal serta sektor keuangan yang antisipatif dan responsif dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
(Kolom Tempo)