Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Episentrum Krisis Ekonomi

Eddy Suprapto
Kontributor AsiaN

Proses pemulihan ekonomi Indonesia akibat covid-19 jelas akan menghadapi babak baru yakni menghadapi krisis ekonomi. Pertumbuhan produk domestik bruto hanya 1,8%. Inflasi di angka 2,7%. Sementara tingkat pengangguran naik 8% hingga menembus 10%. Penerimaan APBN hanya Rp.1.761 triliun sedangan pengeluaran naik Rp. 2.614 triliun. Defisit APBN pun semakin melebar.

Tatanan ekonomi, sosial dan politik dunia berubah mendadak akibat penyebaran virus covid19. Virus menyebar melalui interaksi antar manusia secara cepat dan tidak mengenal batas teretori. Akibatnya segala kegiatan interaksi sosial dan ekonomi mendadak harus dibatasi untuk mencegah penyebaran di seluruh dunia. Pembatasan ini sangat berhubungan erat dengan prediksi kapan penyebaran berhenti, untuk selanjutnya aktifitas manusia menjadi normal kembali.

Baca Juga:
Bahaya Krisis Ekonomi
Tantangan Kebijakan Fiskal Kini

Ketidakpastian kapan penyelesaian virus ini akan selesai jelas berdampak pada sektor ekonomi dan keuangan, diantaranya kejutan dari sisi penawaran, turunnya permintaan di konsumen, perubahan mendasar dari psikologi para pelaku ekonomi. Sedangkan di sektor ekonomi mikro, pembatasan kegiatan dirumah mempengaruhi perilaku konsumen lewat belanja on the spot ke belanja on line. Terjadi pergeseran pola belanja dari pembelian jenis makanan mudah saji ke produk mentah. Konsumen yang terbiasa makan direstoran siap saji kini masak sendiri ataupun lebih memilih frozen food, agar dapat disimpan lebih lama, melalui pembelian jenis barang via
online. Ini semua adalah indikasi pergeseran pola konsumsi. Pemotongan porsi belanja konsumsi diskresioner biasanya terefleksi pada turun tajamnya indeks penjulan ritel.

Selama masa pembatasan sosial selama 8 minggu terjadi penurunan aktivitas ekonomi antara 6-10%. Dan berakibat pada penurunan produksi industrial diperkirakan kisaran 9-13%. Dengan kondisi ini bila perekonomian diasumsikan mulai bergerak kembali di kwartal ketiga tahun 2020 maka pertumbuhan konsumsi rumah tangga di sepanjang tahun 2020 kemungkinan besar hanya mencapai 2,2% year on year dan laju pembentukan modal tetap domestik bruto akan terkontraksi sekitar 1% year on year.

Kondisi ekonomi Indonesia makin berat akibat ketergantungan impor produk pangan, energy dan bahan baku. Ketergantungan kita yang tinggi terhadap arus investasi menyebabkan turun tajamnya ketersedian barang modal dan pasokan mesin produksi. Mengkerutnya perekonomian China menyebabkan arus produksi dan ekspor Indonesia terganggu. Hal ini terefleksi dalam turunnya indeks produksi industri dan turunnya pemanfatan kapasitas produksi. Pola ketergantunan ini juga menyebabkan menipisnya stok persedian beberapa kelompok jenis barang dan pangan mengalami supply shock.

Kenaikan Pengguran


Mengacu pada komposisi angkatan kerja berdasarkan klasifikasi sektor ekonomi jenis usaha terdapat 56% angkatan kerja Indonesia berada di sektor informal, sedangkan dari durasi jam kerja terdapat seperempat angkatan kerja Indonesia kerja paruh waktu atau setengah menganggur. Sedangakan krisis yang simultan ini berpotensi menambah jumlah pengangguran terbuka sebanyak 3,5-8,5 juta orang di sepanjang tahun 2020. Ini artinya tingkat pengangguran berpotensi naik dari kisaran 5,2-5,3% saat ini menjadi 7,7% (moderat) sampai 10,3% (berat).

Sektor yang terdampak langsung krisis 2020 ini meliputi jasa, pariwisata, perhotelan, transportasi, Terjadinya demand shock akibat terhentinya arus turis terlihat di sektor pariwisata, hotel dan transportasi di sentra-sentra turisme Indonesia seperti Bali dan Yogya. Penurunan tajam dalam mobilitas penduduk sebagai konsekuensi dari pembatasan sosial, telah menyebabkan kontraksi di beberapa sektor, misalnya konstruksi, perdagangan, hotel dan restoran, transportasi, dan jasa hiburan. Diperkirakan indikasi bahwa turunya aktivitas di berbagai sektor ekonomi cukup tajam, bervariasi antara 35-55%.

Kebijakan Fiskal


Defisist APBN untuk tahun 2020 ditargetkan melebar dari 1,8% menjadi 5,1% dari PDB. Angka defisit tersebut didasarkan pada asumsi penerimaan mencapai Rp1.761 triliun 21% lebih rendah dibanding target sebelumnya. Asumsi belanja sebesar Rp2.614 triliun atau 3% lebih tinggi dari sebelumnya. Tambahan Anggaran Belanja Pemerintah tahun 2020 meliputi kesehatan penanganan COVID19 dan subsidi BPJS sebesar Rp75 triliun. Jaring Pengaman Sosial Rp110 triliun. Dukungan terhadap industry berupa pajak impor dan lain senilai Rp70 triliun. Pendanaan Program Penyehatan Ekonomi Nasional sebesar Rp150 triliun. Total tambahan Rp405.1 triliun.

Pembiayaan defisit sebesar ini direncankan berasal dari beberapa sumber sisa lebih anggaran tahun-tahun sebelumnya. Endowment fund yang dikeleola Kementerian Keuangan misalnya LPDP, dana yang dikelola Badan Layanan Umum, Penerbitan surat utang berdenominasi IDR dan valas, pinjaman luar negeri dari lembaga bilateral dan multilaterar, serta penerbitan surat utang baru yang diberi label “Pandemi Bond”.

Dalam prakteknya, tidaklah mudah untuk merealisasi target defisit sebesar 5,1%. Kendala akan bersumber pada beberapa factor. Pertama, target penerimaan kemungkinan besar akan meleset. Turun tajamnya level keseimbangan supplay-demand memberikan indikasi bahwa realisasi penerimaan pajak di 2020 akan mirip dengan kondisi di tahun 2018 atau tahun 2019. Lebih mudah membayangkan turunnya prospek penerimaan PPh dan PPN sebagai konsekuensi dari turunya aktivitas ekonomi.

Berbagai macam tax-break serta penurunan tarif pajak badan dari 25% ke 22% akan menggerus penerimaan pajak secara cukup signifikan. Jatuhnya harga minyak juga akan mengurangi penerimaan non pajak. Rata-rata harga Brent di tahun 2020 diperkirakan turun ke angka USD 40 per barel versus rata-rata harga Brent USD 65 per barel di tahun 2019. Sementara rata-rata kurs Rupiah ke Dollar berada di 15.625 di tahun 2020. Yang artinya rata rata depresiasi sebesar 10% dibanding tahun 2019. Turunya harga minyak sebanyak hampir 40% tidak ter-offset oleh naiknya penerimaan rupiah akibat depresiasi IDR.

Indonesia Memasuki Resesi


Episentrum krisis yang tersebar di semua belahan dunia menyebabkan investor obligasi di banyak negara akan lebih mengarahkan amunisi mereka untuk membantu pembiayaan fiskal di negara masing-masing. Bank Indonesia memberikan solusi moneter untuk membantu pembiayaan fiskal yaitu lewat peningkatan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dan penurunan rasio GWM dengan proporsi yang sama.

Solusi moneter ini akan mendorong perbankan untuk mengalokasikan IDR 100 triliun untuk menyerap penerbitan obligasi pemerintah di pasar primer. Akibatnya, kebutuhan penerbitan kotor (gross insurance) obligasi pemerintah sebesar lebih kurang Rp. 900 triliun diharapkan mampu dijembatani lewat operasi perbankan. Dengan pertimbangan realisasi defisit APBN berada di kisaran 4,5% dari PDB alias lebih rendah 0,57% dibanding target.

Indonesia setidaknya pernah mengalami krisis ekonomi dunia tahun 1998, 2008 dan tahun 2020. Namun krisis tahun 1998 dan 2008 tidak bisa dibandingkan dengan krisis tahun 2020. Krisis tahun 1998 dipicu krisis coorporasi namun tidak semua negara terdampak. Krisis tahun 2008 dipicu oleh krisis keuangan global, tapi transaksi antar negara masih berjalan. Krisis tahun 2020 berdampak multi dimensi. Seluruh negara terkena, seluruh negara terhenti kegiatan businessnya. Semua negara menutup diri. Seluruh negara mengalami pengangguran dan defisit anggaran. Hanya prosentasi dan daya tahan masing masing negara yang berbeda.

Dengan kondisi mikro maupun makro bisa dikatakan kita memasuki resesi ekonomi tahun 2020. Tingginya ketidakpastian akan lintasan data serta perubahan fundamental dalam hubungan antar variable akibat perubahan perilaku membuat gambaran ekonomi jadi berbeda. Fakta menunjukan pertumbuhan ekonomi di kwartal 1 tahun 2020 akan lebih rendah dari kwartal keempat tahun 2019, bahkan bila memperhitungkan faktor musiman.

Pertumbuhan PDB juga akan negatif di kwartal kedua tahun 2020. Untuk keseluruhan tahun 2020, pertumbuhan PDB hanya mencapai 1,8% year to year dengan rata rata inflasi di angka 2,7%. Tingkat pengangguran cukup konsisten dengan definisi pengangguran terbuka yang dianut Indonesia adalah 8%. Yang akan naik tajam adalah jumlah pekerja paruh waktu dan setengah menganggur. Dengan demikian, krisis 2020 akan mengubah komposisi angkatan kerja Indonesia.

Langkah pemerintah meredam laju krisis ekonomi diharapkan efektif yakni dukungan terhadap industri berupa: PPh21 dan PPN, pajak impor dan penangguhan pembayaran pokok diharapkan mampu menggerakan stimulus ekonomi. Disisi lain terdapat pendanaan program penyehatan ekonomi nasional sebesar Rp 150 triliun bisa digunakan sektor sektor untuk mengurangi produk impor Indonesia, yakni sektor pangan, energy dan industri farmasi.

Akankah stimulus dan kebijakan pemerintah ini cukup “nendang” untuk memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia saat ini, dengan sisa waktu yang ada untuk tahun 2020 ini? Jawabannya akan terjawab jika pemerintah, pelaku ekonomi, dan masyatakat Indonesia memiliki kesatuan hati dalam menghadapi krisis 2020 dengan tekad bangkit kembali.
(ysw/sindonews)